Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Takdir Mengggerus Rindu

Takdir menggerus rindu - Setiap langkahnya terjelas, berlari menelusuri jalan setapak ke arah rumahnya. Rasa bahagia terus menyelimutinya, tak mampu di ungkapkan dengan kata-kata. Tak sabar rasanya dia menerangkan apa yang di bawanya kepada sang ayah. Itu secarik kertas yang di bungkus amplop bewarna putih.

 berlari menelusuri jalan setapak ke arah rumahnya Takdir Mengggerus Rindu

Ilustrasi takdir menggerus rasa rindu (pixabay.com)

"Pak, lihat ini" ucapnya dengan semangat. Kemudian mengeluarlan secarik kertas dari dalam amplop putih itu dan mengatakan pada bapaknya.

"Apa itu?" tangan sang bapak masih sibuk mengaduk-aduk nasi goreng yang tak terang rasanya. Yang penting nasi digoreng pakai cabe, pakai kecap dan pakai garam. Komposisinya tidak penting, yang penting ada nasi goreng.

"M-a-a-f.....”

Yoga, belum sempat meneruskan membaca surat itu, bahkan hanya satu kata yang dibacanya, sang ayah, yang kerap di panggil pak Yusuf itu langsung mengambil surat itu dan memulai membacanya.

"Baca yang keras, pak" kata Yoga pengin tahu isi surat itu. Pak Yusuf hanya mengangguk pelan sambil berkata, "Ini surat dari ibuk"

"Tadi pak pos juga bilang begitu, pak" kata Yoga.

maaf,
untuk bulan ini ibuk tak mampu pulang 
mungkin bulan depan ibuk baru bisa 
yoga, ibuk kesepakatan bakalan bawain oleh-oleh yang banyak. Jangan marah ya sayang.

Yoga langsung menekuk wajahnya. 
"Kemaren ibuk janji, pulang bulan ini, dan sekarang ibuk kesepakatan bulan depan, ibuk sudah nggak sayang sama aku, saya benci sama ibuk" teriak Yoga keras, dan langsung pergi dari hadapan ayahnya.

Langkah kakinya terdengar menapakkan setiap langkah demi langkah dengan raut wajah kesal.  Menendang apapun yang di depannya. 

****

Suara Azan magrib menggema di seluruh penjuru desa. Yoga menyeret langkahnya pelan,.Sebenarnya hatinya belum tulus untuk menampakkan wajahnya pada ayahnya. Dia ingin melakukan semacam pemberontakan. Siapa tau dengan cara itu ibu mampu pulang.

"Kenapa jam segini baru pulang?" tanya pak Yusuf.

"Lapangan" jawab Yoga singkat. Dan langsung masuk  tanpa mengucapkan salam.

Cahaya bulan menerpa wajahnya, rasa rindunya benar-benar tak mampu di sembunyikannya bahkan pada bulan yang di jauh di atas sana.

"Jika ibuk tidak mampu kesini, saya yang akan kesani" kata-katanya diakhiri dengan senyuman.

****

Cahaya merah menghiasi langit pagi. Sekarang dirinya sudah berdiri di daratan yang berbeda. Dengan gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, mirip membelah langit Jakarta.

"Ibuk, saya datang" teriaknya semangat dalam hati sambil terus berlari, merentangkan kedua tangannya, membiarkan udara pagi Jakarta memasuki pori-porinya. 

Sekarang bukan waktunya untuk bersenang-senang. Yoga mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat ibunya.

Sudah banyak orang yang ditanyai Yoga, tapi tak satu pun yang mengetahuinya. Disini pandangannya terbuka lebar-lebar ketika belum arif balig cukup akal seusianya harus bekerja, menggunakan baju compang-camping, penuh dengan tambalan.

Sekarang hatinya tersadar bahwa dia bukanlah satu-satunya orang didunia ini yang memiliki kehidupan sulit, masih ada yang lebih sulit dari pada dirinya. Ingin rasanya Yoga menyapanya, tapi ingat dengan tujuan pertamanya tiba ke Jakarta.

****

Sinar merah itu mulai menghilang, sekarang hanya panas dan terik matahari yang tersisa. Tapi hal itu tak menghalangi niatnya untuk mencari sang ibu. 

Waktu tak akan terus begini, bumi akan terus mengelilingi matahari, matahari tak akan pernah mengelilingi bumi. Begitu pun dengan waktu akan terus berlalu, tak akan pernah berhenti dan menungguh.

Untuk hari ini matahari telah merampungkan tugasnya, namun Yoga belum juga merampungkan tugasnya. Sekarang dirinya ialah orang asing di negeri orang. Angin malam menusuk-nusuk kulit, hawa hirau taacuh tak mampu untuk di sembunyikan.

Sebuah kesalahan besar telah dilakukannya. Harusnya dia belajar untuk menjadi orang sabar, dan melihat ke bawah, saatnya membuka mata lebar-lebar, bukan hanya terus meratapi.

****
Di bawah sebuah pohon besar pak Yusuf bersandar, sekarang semua perasaannya campur aduk, mengingat semua kesalahan yang dilakukannya. Membiarkan sang istri mengadu nasib ke Jakarta.

Hal itu tentu membuat Yoga anak semata wayangnya merasa sedih, dia butuh sosok seorang ibu. Berita hilangnya Yoga, sudah sampai pada ibunya, melalui surat yang dikirim oleh pak Yusuf.

***

Sekarang diri Yoga ialah seorang pemulung di sini, sudah tak ada harapan untuk mampu berkumpul dengan orangtuanya. Sekarang wanita yang selama ini dirindukan Yoga sudah berhenti bekerja di Jakarta dan memilih untuk menjadi seorang petani mirip kebanyakan orang di desa..

Sekarang kehidupan Yoga sudah benar-benar berubah, ia hidup sendiri, tapi masih dengan rasa rindu yang mengikat.

Dibesarkan oleh jalanan membuat Yoga tumbuh menjadi pribadi yang keras. Terkadang rasa rindu juga kerap menghampirinya. Itulah yang mendesaknya untuk kembali ke kampung halaman. Berjumpa dengan bapak dan ibnya.

Dengn menaiki kuda besi, Yoga sampai di rumahnya. rumah yang masih terlihat sama tak ada yang berubah dari rumah itu.

Dilihatnya sepasang anak laki dan wanita sedang asik berlari mengelilingi rumah. Hati Yoga bertanya-tanya, apa itu adiknya? Seseorang tiba-tiba  keluar dari rumah itu. Menatap Yoga dengan tatapan mengingat. Sementara hati Yoga bertanya-tanya, apa itu ibunya?

Orang itu tiba menghampirinya.

“Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita itu, sepertinya dia tak mengingat Yoga.

"Tidak, hanya numpang lewat, buk" sahut Yoga Wanita amis tanah itu mengangguk pelan.

Entah kenapa, hatinya terasa sakit ketika wanita tadi bertanya. Yoga merasa dirinya sudah tak ada lagi di hati wanita itu. Yoga membalikkan tubuh dan berlalu. Sama mirip dulu Yoga menendang apapun yang ada di hadapannya.

“Yoga!” Seseorang memanggil namanya. Suara yang tak asing lagi bagi Yoga. Oleh karena itu ia menoleh ke arah suara itu dan bergegas menghampirinya.

"Bapak!!!" seru Yoga sambil memeluk ayahnya.

"Kamu sehat, nak? Kamu masih ingat bapak?"

"Aku masih ingat bapak, saya sehat, pak" sahut Yoga.

"Ayo kita pulang, temui ibu dan kedua adikmu, namanya Yura dan Yudi.“

Yoga hanya tersenyum pelan, sambil berkata,  

"Tadi saya sudah menemui mereka, bapak.  Mereka sedang asyik bermain, dan saya juga sudah menemui ibuk. Sekarang saya mau balik ke Jakarta. Di sana saya sudah kerja, saya ada sesuatu untuk bapak"  kata Yoga mengeluarkan amplop putih, persis mirip yang dulu di terimanya dari tukang pos. Kemudian Yoga berlalu.

Laki-laki amis tanah itu hanya diam, bantu-membantu hatinya belum tulus untuk melihat putranya, pergi untuk yang kedua kalinya ke Jakarta.

"Buk, tadi bapak bertemu Yoga, dia mengatakan ini" kata pak Yusuf sampai di rumah.

"Apa ini, pak" tanya istrinya penesaran.

"Bapak, tidak tau" jawab pak Yusuf. Dan, setelah dibuka ternyata amplop itu berisi uang, uang yang cukup banyak.

"Tadi ada orang berdiri lama, di depan rumah kita, dia bilang cuma mau numpang lewat" terang wanita itu

"Itu pasti Yoga, buk. Bapak rasa dia sedih karna ibuk tidak mengingatnya lagi sehingga ia berbalik arah. Tadi bapak lihat sepanjang jalan dia menendang apapun yang ada di depannya" terang pak Yusuf sedih.

Terlihat  raut wajah sedih dari kedua orang amis tanah itu. Mungkin memang ini sudah menjadi takdir putranya, sudah suratan takdir dari yang maha esa. Hidup sendiri di negeri orang telah membuat putra mereka tumbuh mandiri.
 Baca juga : Hidup dalam Penantian

Penyesalan terang tak berguna. Mereka akan terus digerus oleh rindu.  Hubungan darah antara orangtua dan anak, tak akan putus oleh gunting walaupun gunting itu mampu membelah samudra sekalipun. (Kiriman Cerpen : Sara Ayusti)


Sumber https://www.duniaedukasi.my.id/

Posting Komentar untuk "Takdir Mengggerus Rindu"