Sepuluh Lebih Sepuluh
Tak ada yang tak terhitung. Tak ada satupun daun yang jatuh di muka bumi ini tanpa seijinNya. Tak ada satupun makhlukNya bahkan binatang kecil melata yang luput dari perhatian dan kasih sayangNya. Untuk kesekian kalinya akupun tak luput dari perhatian dan kasih sayangNya.
Hari ini saya diberi kemurahan dan akomodasi untuk mencar ilmu sesuatu. Dari hal sederhana menjadi sesuatu yang sangat besar. Bagaikan turunnya gerimis di terik matahari, ada bias tapi tak terlirik oleh siapapun. Seketika setelahnya membuat orang tercengang, terkagum kagum bahkan kemudian tercenung. Bagaimana mampu sebuah pelangi yang sangat indah “ hanya “ diawali oleh gerimis yang tak menarik?
Hari ini saya mengajar anak-anak materi vektor, dan mencar ilmu pada Tuhan tentang “resultan vektor kehidupan”. Tahukah pada siapa Tuhan menyuruhku belajar? Pada muridku dan pada sebuah jam yang tertempel di tembok kelasku yang sudah mulai usang dimakan zaman, juga pada Pak Hardi sobat sejawatku, seorang guru seni budaya. Pada muridku saya mencar ilmu bagaimana harus punya manajemen kelas yang manusiawi, pada temanku saya mencar ilmu bagaimana mengembangkan rasa dan pada sebuah jam saya mencar ilmu bagaimana waktu mampu mendekatkan diri pada Tuhan. Bagaimana bisa?
Dua hari yang kemudian saat istirahat di ruang guru, mirip sebuah sinetron, pintu ruang guru perlahan lahan terbuka, ada bayangan yang mendahului masuk sebelum orangnya. Waow… semua mata tertuju pada si empunya bayangan, termasuk aku, Pak Hardi dan beberapa sobat guru. Seorang gadis berambut panjang bergelombang, hidungnya sangat proporsional, tubuhnya ramping berisi dan tatapan matanya memancarkan sinar kepercayaan diri yang tinggi, mirip seekor cheetah yang sedang mengejar anak kijang, yakin pasti akan berhasil menerkamnya.
Begitu matanya yang berkilat itu menumbuk pandanganku, dia tersenyum. Giginya yang putih rapi, senyumnya simpel dan gerakannya sangat natural, membuatku agak sedikit melayang, serasa kakiku tak berpijak pada tanah. “ Bapak masing ingat saya ?”. Sebuah pertanyaan yang membuyarkan imajinasiku. Sebentar…. Aku coba mengingat ingat wajahnya. Aku keluarkan semua memoriku tentangnya, tapi tak juga kudapatkan gambaran insiden bersamanya. “ Aku menyerah ”, jawabku. “Coba bapak lihat jam di depan itu“. Aku palingkan wajahku ke tembok, kuperhatikan sejenak. Pukul 10 lebih 10.
“ Ha ha ha ya ya saya ingat sekarang. Anda murid spesialku. Anda yang selalu keluar kelas minta izin untuk melakukan sesuatu yang menimbulkan keyakinan anda. Dan itu tepat pukul 10 lebih 10. Dan anda lakukan itu setiap hari”. “Tepat sekali pak ”, jawabnya sembari tersenyum dengan senyum proporsionalnya. Dan sehabis itu terjadilah obrolan yang sangat mengalir seperti aliran udara di alam semesta. Semilir, sejuk dan lembut menerpa rasa setiap insan yang menyadap rasa di dalam setiap aliran kata.
“Terima kasih banyak Pak Hardi” , sekelumit kalimat yang keluar dari hatinya yang paling tulus.“ Bapak sudah memperlihatkan pencerahan di tengah gelapnya kehidupan saya”. Dari samping Pak Hardi, saya perhatikan obrolan keduanya dengan seksama mirip seorang kepala sekolah yang sedang mengoreksi rencana pelaksanaan pembelajaran ( RPP ) bapak ibu guru. Aku ingin tau kenapa anak ini selalu minta izin keluar pada pukul 10 lebih 10.
Hampir satu jam lebih saya menjadi pendengar obrolan keduanya. Sangat akrab, sangat santun dan sangat berkonsep. Mereka bicara perihal konsep kehidupan, terkadang berbelok pada konsep mencar ilmu dan yang paling menarik yaitu saat mereka bicara perihal waktu. 10 lebih 10. Aku pasang kupingku baik-baik biar mampu mendengar dengan terang yang mereka bicarakan.
Dia mengeluhkan kondisi mencar ilmu saat SMA dulu. Dia bilang guru gurunya tidak banyak yang mampu dan mau mengerti kondisi kejiwaan masing masing siswa. Semua dianggap dalam kondisi yang sama, sehingga keunikan masing masing individu tidak diperhatikan. Dia memberi referensi dirinya sendiri, setiap pukul 10.10 tidak semua guru mau memperlihatkan izin kepadanya untuk keluar dari kelas. Padahal dia yakin pada jam itu yaitu waktu yang tepat untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Itu keyakinannya, dan itu yaitu hak asasi setiap manusia. “ Terima kasih, Pak Aji mampu menghargai keyakinan saya saat itu”. Aku tersenyum mengiyakan.
Dialogpun masih terus mengalir, sampai hingga pada sesuatu yang sangat ingin saya tahu sejak dulu. Kenapa dia selalu keluar kelas pukul 10 lebih 10? Rupanya dia punya keyakinan bahwa pada saat pukul 10 lebih 10 yaitu saat yang paling baik untuk berdialog dengan Tuhan. “ Bagaimana anda yakin bahwa pada jam itu yaitu saat yang paling baik untuk berdialog dengan Tuhan? Bagaimana logikanya? “, tanyaku menggebu dengan seribu rasa penasaran.
“ Pak, tidak semua proses kehidupan ini mampu dihitung lantaran kebijaksanaan kita sangat terbatas “, dia menjelaskan konsep yang diyakininya selama bertahun tahun di usia yang masih sangat muda.
“ Dan kini saya bertambah yakin bahwa kedekatan kita dengan Tuhan yang akan membawa kita pada keberuntungan dan kesuksesan. Paling tidak itu yang terjadi pada saya “, timbul kepercayaan diri yang tinggi darinya, itu mampu saya lihat dari sorot matanya. Pernah ada pertanyaan besar dalam diriku saat saya berada di sebuah kelas dan bertemu dengan anak anak, buat apa saya setiap hari bersusah payah meluangkan waktu, pikiran, tenaga dan yang lainnya? Apakah hanya sekedar untuk mendapat gaji? Jabatan? Pengakuan? Harga diri?
“ Dan kini saya bertambah yakin bahwa kedekatan kita dengan Tuhan yang akan membawa kita pada keberuntungan dan kesuksesan. Paling tidak itu yang terjadi pada saya “, timbul kepercayaan diri yang tinggi darinya, itu mampu saya lihat dari sorot matanya. Pernah ada pertanyaan besar dalam diriku saat saya berada di sebuah kelas dan bertemu dengan anak anak, buat apa saya setiap hari bersusah payah meluangkan waktu, pikiran, tenaga dan yang lainnya? Apakah hanya sekedar untuk mendapat gaji? Jabatan? Pengakuan? Harga diri?
Pak Hardi tersenyum, rupanya tahu apa yang saya pikirkan,” Anak anak yang punya kepercayaan diri mirip itu yang kita inginkan. Sehingga sebetulnya tujuan pendidikan dimanapun yaitu membentuk anak didik menjadi insan yang percaya diri. Dari situ anak mampu berkembang sesuai dengan potensi mereka masing masing dan tak ada keraguan lagi untuk melangkah atau memutuskan suatu pilihan “.
Sepertinya tidak berlebihan apa yang dikatakan beliau, hanya saja tidak simpel bagi setiap guru untuk memperlihatkan sebuah situasi atau mengkondisikan pembelajaran yang mampu menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Diperlukan keberanian bereksplorasi, berkolaborasi dan berapresiasi dengan guru lain sehingga pelan pelan akan ditemukan dan semakin disempurnakan metodenya.
Masih ada satu pertanyaan lagi yang hinggap di kepalaku. Ada apa dengan pukul 10 lebih 10? Bisakah itu dijelaskan? Ataukah kita menyerah saja. Pak Hardi tersenyum, “ Pak Aji yang mampu jelaskan. Coba pikirkan sejenak, barangkali dengan ilmu fisika rahasia ini mampu terkuak “.
Beberapa minggu sehabis obrolan itu saya menemukan jawabannya. Saat saya tengah mengajarkan materi vektor pada anak anak di kelas, secara tidak sengaja tiba-tiba Tuhan melintaskan sebuah pemikiran di otakku. Sebuah pemikiran yang unik dan memperlihatkan kepada insan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan itu tidak sia-sia, tak boleh diabaikan dan pasti mempunyai makna. Baik tersurat maupun tersirat.
10 lebih 10 ….. secara ilmu dan kebijaksanaan ternyata mampu dianalisa. Ilmu yang dipakai yaitu vektor. Coba kita analisa :
Kita lihat jam di atas. Jarum pendek menunjuk pada angka 10 sedangkan jarum panjang menunjuk angka 2. Dalam ilmu vektor keduanya yaitu besaran vektor. Artinya mempunyai harga dan arah penunjukan. Jika kita jumlah kedua vektor tersebut maka hasilnya yaitu vektor yang berwarna merah. Dan satu-satunya waktu yang yang mampu menghasilkan penjumlahan atau resultan vektor yang arahnya tepat ke atas atau di angka 12 yaitu 10 lebih 10. Ke atas berarti ke arah Tuhan. Subhanalloh….
Inilah rahasianya mengapa muridku merasa sangat ingin bertemu dengan Tuhan saat pukul 10 lebih 10. Dan inilah rahasia dari manajemen kelas yang ideal. Keunikan setiap individu harus diperhatikan serta diberi ruang dan waktu tersendiri. Dalam sistem pendidikan kita hal tersebut sangat mustahil mampu dilakukan lantaran banyaknya siswa dalam setiap kelas sehingga guru akan kerepotan untuk memperhatikan keunikan murid satu persatu. Belum ditambah dengan beban materi pelajaran yang terlalu sarat dengan konsep konsep atau rumus rumus yang beterbangan kian kemari dan terasa sangat mubazir.
Paling tidak setiap guru mencoba untuk menahan diri terhadap “kenakalan“ siswanya. Mencoba untuk melihat lebih dalam kenakalan mereka, mencoba berdialog dengan mereka, mencoba untuk mengerti jalan pikiran mereka. Siapa tahu justeru sebetulnya kita yang sedang mencar ilmu dengan mereka. Sama mirip muridku sepuluh tahun yang lalu, kini rindu untuk datang kembali ke sekolah dan bertemu gurunya. Tak sabar untuk mengabarkan keberuntungan hidup dan kedekatan hatinya pada Tuhan. Semuanya diawali, berproses dan diyakini dari sebuah detak waktu tepat pukul 10 lebih 10.
Narasi Biodata Penulis:
Namaku Bakti Sukmoko Aji. Anak anak biasa memanggilku Pak Ajik. Lima belas tahun ada di SMA 8 Yogyakarta membuatku banyak belajar. Belajar dari anak anak yang cerdas sangat menambah perbendaharaan dan kosa kata kehidupan, yang kemudian ingin saya bagikan buat orang lain yang mau membuka hati dan rasa.
Baca juga : Tertarik Kutub Magnet Tuhan
Tak pernah ada manajemen kelas yang paling baik yang pernah ada, lantaran tak pernah ada murid yang sama. Manajemen kelas yang baik hanyalah bila kita sebagai guru mau mendapat perbedaan yang ada pada murid murid kita.
Sumber https://www.duniaedukasi.my.id/

Posting Komentar untuk "Sepuluh Lebih Sepuluh"